Bai’ul Fudhul

Posted: December 2, 2010 in Halaqoh
  1. A. Pengantar

Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala nikmat yang telah diberikan dan curahan limpahan ilmu, sehingga dapat terselesaikannya paper sederhana ini dengan lancar, tidak ada halangan apapun. Shalawat salam tetap tercurahkan pada Uswah al Hasanah kita, Nabi Agung Muhammad SAW. beserta Keluarga dan para Sahabatnya.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. Kyai H. Ahmad Mudlor, S.H. selaku pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang yang telah memberikan limpahan curahan ilmu yang luar biasa kepada kita. Tak lupa pula kepada pihak-pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian paper ini.

Harapan kami dari paper yang sederhana ini semoga kita oleh Allah SWT diberikan tambahan ilmu yang bermanfaat kelak, dan sebagai bahan pembelajaran khususnya di bidang Fiqih Muamalah dalam Kitab al Buyu’, khususnya dalam pembahasan Bai’ al Fudhul. Kritik dan saran konstruktif sangat kami harapkan untuk kesempurnaan paper ini dan selanjutnya.

Jual beli baru dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual-beli. Umpamanya, barang itu milik sendiri (bukan milik orang lain atau hak orang yang terkait dengan barang itu). Akad jual beli tidak dapat dilaksanakan apabila orang yang melakukan akad itu tidak memiliki kekuasaan secara langsung melakukan akad. Umpamanya ada orang lain yang bertindak sebagai wakil dalam jual beli. Dalam hal ini pihak wakil harus mendapat persetujuan (surat kuasa) dari orang yang diwakilinya. Kemudian, jual beli semacam ini disebut dengan jual beli بيع الفضول . Selanjutnya, secara lebih rinci akan dijelaskan dalam pembahasan di bawah ini. Semoga di dalam pembahasan singkat dibawah ini mendapatkan bimbingan dan Ridhlo Allah SWT.

  1. B. PEMBAHASAN
    1. 1. Pengertian Jual-beli (البيع)

Jual-beli (البيع) artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata البيع dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata: الشراء (beli). Dengan demikian, sampai saat ini kata: البيع berarti “jual” dan sekaligus juga berarti “beli”.

Secara terminlogi, terdapat beberapa definisi, diantaranya:

Oleh Ulama’ Hanafiyah didefinisikan dengan:

مبادلة مال بمال على وجه مخصوص

“saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu”, atau:

مبادلة شئ مرغوب فيه على وجه مفيد مخصوص

“tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan mlalui cara tertentu yang bermanfaat”.[1]

Unsur-unsur definisi yang dikemukakan ulama’ Hanafiyah tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara yang khusus adalah ijab dan Kabul, atau juga bisa melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai, minuman keras dan darah tidak dibenarkan.

Sayid Sabiq di dalam Fiqih Sunnah mendefinisikan jual beli sebagai berikut:

مبادلة مال بمال على سبيل التراضى

“saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka”.

Oleh imam An-Nawawi didefinisikan:

مقابلة مال بمال تمليكا

“saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”.

Oleh Abu Qudamah didefinisikan:

مبادلة المال بالمال تمليكا و تملكا

“saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan”.

Dalam definisi di atas ditekankan kepada “hak milik dan pemilikan”, sebab ada tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa menyewa.

Kemudian dalam kaitannya dengan harta, terdapat pula perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dan Jumhur Ulama’.

Menurut Jumhur Ulama’ yang dimaksud harta adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu manfaat dari suatu benda boleh diperjual-belikan. Sedangkan Ulama’ Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan harta (Al-maal) adalah sesuatu yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu manfaat dan hak-hak, tidak dapat dijadikan obyek jual-beli.

Pada masyarakat primitif, jual beli biasanya dilakukan dengan tukar-menukar barang(harta), tidak dengan uang sepertiyang berlaku pada masyarakat pada umumnya. Mereka umpamanya, menukarkan rotan (hasil hutan) dengan pakaian, garam dan sebagainya yang menjadi keperluan pokok mereka sehari-hari. Mereka belum menggunakan alat tukar seerti uang. Namun, pada saat ini orang yang tinggal di pedalaman, sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar.

Tukar-menukar barang seperti yang berlaku pada zaman primitive, pada zaman modern ini pun kenyataannya dilakukan oleh satu Negara dengan Negara lain, yaitu dengan system barter (المقايدة). Umpamanya, gandum atau beras dari luar negeri ditukar dengan kopi atau lada dari Indonesia yang dalam jumlah yang amat besar.[2]

Kemudian ada beberapa jual beli yang dilarang atau dipandang tidak sah. Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al Zuhaily meringkasnya sebagai berikut:

  1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)

Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini:

  1. Jual beli orang gila.
  2. Jual beli anak kecil.
  3. Jual beli orang buta.
  4. Jual beli terpaksa.
  5. Jual beli fudhul yaitu jual beli tanpa seizin pemiliknya.
  6. Jual beli orang yang terhalang.
  7. Jual beli malja’ yaitu jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut menurut ulama Hanafiyah adalah fasid dan menurut ulama Hanabilah adalah batal.
  1. Terlarang sebab Shighat

Ulama fiqh telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, da kesesuaian di antara ijab dab qabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.

  1. Terlarang Sebab Ma’qud ’Alaihi (Barang jualan)

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.

Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama’, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada. Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli seperti ini adalah tidak sah.
  2. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air.
  3. Jual Beli gharar. Yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu).
  4. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis.Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al mutanajjis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
  5. Jual beli air. Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama madzhab. Sebaliknya ulama Zhahiriyah melarang secara mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yaitu yang semua manusia boleh memanfaatkannya.
  6. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Menurut ulama Hanaiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur adalah batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
  7. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat.
  8. Jual beli sesuatu sebelum dipegang. Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap, dibolehkan. Sebaliknya, Ulama Syafi’iyyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarag atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
  9. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan. Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ualama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama’. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan telah matang, akadnya dibolehkan.
  1. Terlarang Sebab Syara’

Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada bebrapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama’, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Jual beli riba. Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama.
  2. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan. Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid dan terjadi akad atas nilainya,m sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal.
  3. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang.Yakni mencegat pedagang dari perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat hal itu makruh tahrim. Ulama Syaf’iyyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
  4. Jual beli waktu adzan Jum’at. Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah, pada waktu adzan pertama, sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketik akhatib sudah berada di mimbar. Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyyah menghukumi sahih haram. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah adalah tidak jadi, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak sah.
  5. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah zahirnya sahih, tetapi makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
  6. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil. Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
  7. Jual beli yang sedang dibeli oleh orang lain.
  8. Jual beli memakai syarat. Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, ”Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dahulu.” Begitu pula menurut ulama Malikiyah membeolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan dengan syarat ada maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.

Kemudian didalam pembahasan selanjutnya, kami hanya membahas ”poin e” dari Kategori jual beli tidak sah atau Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad) di atas. Yaitu bai’ al fudhul yang menjadi judul utama paper ini.

  1. 2. Pengertian Bai’ al Fudhul (بيع الفضول)

Jual beli baru dapat dilaksanakan atau bisa dikatakan sah apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual-beli. Umpamanya, barang itu milik sendiri (bukan milik orang lain atau hak orang yang terkait dengan barang itu).

Akad jual beli tidak dapat dilaksanakan apabila orang yang melakukan akad itu tidak memiliki kekuasaan secara langsung untuk melakukan suatu akad. Umpamanya ada orang lain yang bertindak sebagai wakil dalam jual beli. Dalam hal ini pihak wakil harus mendapat persetujuan (surat kuasa) dari orang yang diwakilinya. Jual-beli semacam ini disebut dengan jual beli بيع الفضول .

Pada ashalnya bai’ al fudhul atau biasa disebut dengan bai’ al fudhuliy[3] adalah melakukan sesuatu atau melakukan akad jual beli yang bukan dalam wilayah kekuasaannya. Seperti misalkan menjual atau membeli barang orang lain, dengan izin dari pemiliknya maupun tidak. Misalkan, seseorang secara pribadi menjual barang milik Negara, atau seseorang menjual barang (harta) milik istrinya.[4]

Saat ini banyak sekali terjadi diantara kita jual-beli semacam ini. Akan tetapi kebanyakan orang tidak memperhatikan hokum dari jual-beli tersebut. Dilihat dari sah ataupun tidaknya. Ada yang berpendapat bahwa bai’ al-fudhul termasuk jual-beli yang dilarang. Jika dilihat dari ‘illahnya yaitu menjual atau membeli barang yang bukan miliknya atau menjual barang yang bukan dalam wilayah kekuasaannya jelas ada sesuatu yang membuat cacat di dalam transaksi tersebut. Karena salah satu syarat barang di dalam jual-beli adalah milik sendiri, bukan milik orang lain.

Ada perbedaan pendapat dalam menanggapi masalah بيع الفضول . Ulama’ Hanafiyah disini membedakan antara wakil dalam menjual barang dan wakil dalam membeli barang. Dalam menjual, akad fudhuliy ini adalah sah namun bersifat mauquf (bergantung) kepada kerelaan pihak yang berwenang (pemilik atau walinya). Kemudian dalam hal membeli dengan maksud untuk orang lain sah untuk dirinya sendiri, kecuali jika ia membeli dengan mengatasnamakan orang lain, maka akadnya sah namun bersifat mauquf.[5]

Jika kita melihat dengan seksama pendapat dari Ulama’ Hanafiyah diatas, memang mereka berpendapat bahwa bai’ al fudhul hukumnya sah, dengan bersifat mauquf. Artinya ketika si pemilik atau pihak yang berwenang tidak ada suatu kerelaan atau ijin, maka jual beli tersebut tidaklah sah.

Menurut Ulama’ Syafi’iyah, al Dzohiriyah dan Hanabilah بيع الفضول tidak sah sekalipun mendapatkan ijin dari orang yang mewakilinya itu. Mereka berpendapat demikian dengan merujuk pada Hadits Nabi SAW.

لا بيع ما ليس عندك (رواه احمد و ابو داود و الترميذي و النسائي)

“Tidak (sah) jual beli, kecuali sesudah dimiliki sendiri.” [6]

Pendapat dari Ulama’ Syafi’iyah, al Dzohiriyah dan Hanabilah diatas lebih bersifat tekstual, karena kejelasan[7] benda atau barang yang diperjualbelikan adalah merupakan syarat sahnya jual-beli. Di dalam bai’ al-fudhul, kejelasan dari barang atau benda yang diperjualbelikan masih bersifat samar.

Menurut Ulama’ Malikiyah, seluruh jenis akad fudhuliy baik menjual maupun membeli bersifat mauquf terhadap kerelaan pihak lain. Jadi ketika tidak ada ijin dari pihak lain (pemilik atau wali) maka,jual beli yang dilakukan tidak sah. [8]

  1. C. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, bai’ al fudhul adalah termasuk jaul-beli yang dilarang. Memang, ada perbedaan pendapat antara Ulama Mazhab, yaitu ada yang berpendapat sah dan tidak sah, akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut dari pendapat para ulama’ tersebut bai’ al fudhul adalah lebih ke tidak sahnya jual beli. Karena walaupun ada yang berpendapat sah seperti pendapat Ulama’ Hanafiyah, bai’ al fudhul bersifat mauquf atau bergantung kepada pihak lain. Bisa dikatakan bahwa ketika tidak ada ijin dari orang lain maka jual beli fudhul atau bai’ al fudhul tidak sah.

Kami dari penulis lebih sepakat dengan pendapat Ulama’ Ulama’ Syafi’iyah, al Dzohiriyah dan Hanabilah. Dengan berdasar pada Hadits Nabi SAW.

لا بيع ما ليس عندك (رواه احمد و ابو داود و الترميذي و النسائي)

Karena benda yang diperjual-belikan harus bersifat jelas. Dilihat dari kepemilikannya maupun yang lainnya, seperti yang dijelaskan diatas dalam pembahasan Bai’.

——- والله اعلم بالصواب ——-

  1. D. REFERENSI

Al-Zuhaili, Wahbah, Fiqih al Islami wa Adillatihi, 2006, Dimasqa: Dar al-Fikr al-Ma’ashir

Hasan , M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,2004, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamalah Kontekstual,2002, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada


[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 113

[2] M. Ali Hasan,Ibid. hlm. 115

[3] Di dalam kitab-kitab fiqih biasa disebut dengan istilah تصرف الفضولي, dan بيع الفضولي

[4] Wahbah al Zuhaili, Fiqih al Islami wa Adillatihi, (Dimasqa: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 2006 M/1427 H), hlm. 3339

[5] Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 127

[6] M. Ali Hasan, Op.Cit, hlm. 55

[7] Yang dimaksud “Kejelasan” barang atau benda yang diperjualbelikan disini adalah dilihat dari aspek “kepemilikan” dan belum jelas apakah si pemilik barang memberi ijin atau tidak.

[8] Ghufron A. Mas’adi, Op.Cit, hlm 127

Leave a comment